Tak Perlu Dibuat Standarisasi Tarif Dokter

Medan, (Analisa)
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sumut dr Henry Salim Siregar SpOG (K) menilai, tarif dokter spesialis tidak perlu dibuat standarisasi. Soalnya, dikhawatirkan standar tersebut malah membuat dokter lebih bersifat komersial.
"Padahal, dokter itu independen dan tidak hanya komersil tapi juga sosial. Jadi, kalau distandarisasikan akan berbahaya," ucap Henry Salim Siregar di kantor IDI Sumut Medan, Selasa (22/3).
Menurutnya, di tengah situasi saat ini, dimana kuantitas dokter yang kian meningkat, maka mau tidak mau masyarakat mempunyai banyak pilihan dari satu dokter ke dokter lain. Sehingga, kalau satu dokter menerapkan tarif (konsultasi dan pelayanan medis) mahal, maka lambat laun dokter tersebut akan ditingkat.
"Dokter yang menerapkan tarif mahal, maka akan diseleksi secara alamiah. Karena, kondisi saat ini sudah kian berkembang asuransi dan banyaknya jumlah dokter. Jadi, agak aneh kalau ada dokter yang berani menerapkan tarif mahal," sebut dr Henry seraya menambahkan ke depan peran dokter sudah tidak lagi dianggap ekslusif.
Saat ini, sebut Henry, jumlah dokter di Sumut ada 6.045 orang. Jumlah tersebut masih belum merata. Sekitar 60 persen dokter berada di kota besar.
Tidak meratanya dokter ini, menurutnya, karena tidak adanya aturan yang bisa memaksa dokter berada di suatu daerah. Semuanya sangat tergantung dengan individu dokter tersebut ingin bertugas dimana.
Hanya saja, untuk dokter spesialis bisa dianulir penyebarannya melalui organisasi profesi yang menaungi dokter tersebut. Soalnya, sebelum membuat surat izin praktik, terlebih dulu harus mendapat rekomendasi dari organisasi profesi.
Arahan
"Di sini, organisasi profesi sebenarnya bisa memberikan arahan kepada dokter spesialis untuk bertugas di satu daerah. Misalnya, bisa ditanyakan kamu praktik di mana, karena di daerah ini sudah banyak. Di daerah tertentu masih membutuhkan. Bahkan, sebenarnya organisasi profesi bisa tegas, karena ini menyangkut kepentingan organisasi profesi yang bersangkutan," ungkap Ketua IDI Sumut.
Menurut Henry, kebanyakan alas an dokter tidak mau praktik di daerah hanya masalah kenyamanan, bukan karena factor uang. Soalnya, berpraktik di daerah malah bisa mendapatkan uang lebih banyak disbanding praktik di kota.
"Dokter praktik di daerah untuk mendapatkan penghasilan Rp50 juta per bulan, satu hal yang mudah. Karena, selain intensif dan fasilitas dari pemkab/pemko, juga dapat dari jasa medis di rumah sakit dan ditambah lagi praktik sore," ungkapnya.
Jadi, katanya, karena masalah kenyamanan yang diinginkan, maka pemkab dan pemko yang menginginkan dokter harus mampu memberikan rasa nyaman bagi dokter. "Ini sangat tergantung dengan komunikasi pemerintah daerah dengan dokter," ucapnya.
Tapi, lanjut Henry, saat ini sudah tidak ada alas an bagi daerah tidak melengkapi kebutuhan spesialis dasar seperti spesialis anak, spesialis bedah, kandungan dan spesialis penyakit dalam. "Kalau memang tidak ada dokter yang mau, daerah bisa bekerjasama dengan universitas (USU). Nanti USU mengirimkan PPDS senior," jelasnya.
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Sumut dr Syahrial R Anas MHA menyebutkan, setiap rumah sakit tipe B, harus melengkapi empat dokter spesialis empat besar (obgyn, bedah, anak dan penyakit dalam). "Kalau di Medan, seluruh rumah sakit di Medan tipe B sudah lengkap," jelasnya.
Dia mengakui, penyebaran dokter memang tidak merata dan lebih banyak di Medan. Alasannya memang pilihan dokter tersebut karena di Medan lebih banyak pasiennya. "Jadi, bukan karena kenyamanan mereka tidak mau di daerah, tapi karena pasiennya di daerah tidak banyak. Walaupun sebenarnya di daerah intensif di daerah itu cukup besar," ungkapnya. (nai)

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© 2010 Koran Medan is proudly powered by Blogger